.


Selasa, 04 Januari 2011

Manhaj Para Rasul Dalam Berdakwah Kepada Allah

 Berdasarkan hal ini, kita melihat para nabi memulai dakwah mereka dengan tauhid. Mereka memulai dengan hal-hal yang mendasar (fondasi), tidak memulai dari atap karena orang yang memulai daari membangun atap sebelum fondasi, maka atap itu akan menjatuhi kepada mereka. Semua para nabi mengucapkan perkataan seorang nabi: Wahai kaumku, sembahlah Allah, kalian tidak memiliki tuhan selain Dia. Dalam hadits Mu’az yang telah lewat, Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam mengajari Mu’az agar memulai dari yang terpentingJika seandainya ada seorang dokter yang hendak mengobati orang sakit dari penyakit yang sangat berbahaya, kemudian mengetahui penyakit lain pada diri si pasien, seperti filek atau penyakit ringan yang lain, lalu si dokter sibuk menangani penyakit ringan tersebut, sebelum menangani penyakit yang berbahaya itu. Jadilah dokter tersebut penipu pasien. Dokter tersebut membantu proses kematian pasien. Jika ada pasien menderita kekurangan darah, kemudian dokter memulai dengan mengobati luka yang ada pada jari jemari kaki pasien, maka jadilah dokter ini orang jahat dan berperan dalam kematian si pasien, jika sampai pasien itu mati. Karena kewajiban seorang dokter mengobati penyakit yang paling berbahaya serta mengancam kehidupan si pasien.

Menepis Syubhat (Kerancuan) Terhadap Salafiyah

Sebagian musuh dakwah Salafiyah menganggap bahwa menisbatkan diri kepada Salaf merupakan pengelompokan bid’ah. Hal itu sebagaimana menamakan diri dengan: Ikhwanul Muslimin, Hizbut Thahrir, dan Jamaah Tabligh. Mereka tidak tahu, bahwa Salafiyah adalah sebuah penasaban terhadap generasi terbaik. Yaitu generasi sahabat dan tabi’in, yang telah dipersaksikan oleh Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam dengan kebaikan. Juga merupakan penyandaran terhadap umat yang ma’sum (terjaga dari kesalahan), yang tidak akan bersepakat di dalam kesesatan, umat yang telah diridhai oleh Allah. Dia berfirman: Allah ridha terhadap mereka dan merekapun ridha kepada-Nya. Sungguh jauh berbeda, antara orang yang menisbatkan diri kepada individu yang tidak ma’sum , bersikap loyal, dan fanatik terhadap seluruh perkataan dan pendapatnya, dengan orang yang menisbatkan diri kepada umat yang selamat dari penyimpangan dan kesesatan di saat munculnya banyak perselisihan. "Umat ini akan terpecah menjadi 73 kelompok. Semuanya di dalam neraka kecuali satu. Siapa dia wahai Rasulullah? Jawab Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam : “Mereka adalah orang-orang yang semisal dengan apa yang aku dan sahabatku berada di atasnya. Itulah Salafiyah yang mengambil Islam secara murni, bersih dari segala bid’ah. Islam yang dibawa Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam, para sahabatnya dan umat terbaik sesudah mereka.

Ketentuan Dasar Dakwah Salafiyah
Dakwah salafiyah melakukan tasfiyah (pemurnian) terhadap Islam dari semua kebid’ahan, khurafat, kerancuan, pemikiran sesat dan falsafat yang tidak Allah terangkan. Dakwah salafiyah melakukan tazkiyah (pensucian) terhadap jiwa kaum muslimin agar mereka beruntung. Allah berfirman: "Sesungguhnya beruntunglah orang yang mensucikan jiwa itu, dan sesungguhnya merugilah orang yang mengotorinya". Dakwah salafiyah mengambil ilmu yang murni, dari sumber yang murni dan menyampaikannya (ilmu) dalam keadaan murni. Karena ilmu jika tercampuri hadits-hadits dhoif (lemah) dan palsu, aqidah yang menyimpang lagi bathil, falsafat, kerancuan dan sampah pemikiran manusia, maka ilmu itu akan menjadi racun yang mematikan aqidah, pemikiran dan manhaj mereka dan akan memutuskan jalan mereka mencapai keridhoan Allah. Tasfiyah (pemurnian) dan tazkiyah (penyucian jiwa) merupakan keistimewaan dan sendi-sendi dakwah ini. Madrasah al-Imam Mujadid zaman ini al-Albaniy telah melaksanakan peran yang cukup baik dalam hal ini sebagai lanjutan dari madrasah salafiyah pertama sejak zaman Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam dan para sahabatnya sampai zaman ini dan sampai hari kiamat nanti. Dakwah salafiyah memperhatikan ilmu dan ulama, karena asas perbaikan agama hanya bisa tegak dengan ilmu. Sehingga lima ayat pertama yang diturunkan kepada Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam mengajak beliau berilmu dan memerintahkan beliau membaca.


Ruju Menuju Kebenaran

Syaikh Muhammad bin Shalih al-'Utsaimin rahimahullah mengatakan, kibr (sombong), ialah meninggikan diri. Seseorang meyakini dirinya sebagai orang yang besar, kedudukannya di atas orang lain, dia merasa memiliki kelebihan dari orang lain. Kesombongan ada dua macam, bersikap sombong terhadap al-haq dan sombong terhadap makhluk. Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam telah menjelaskan kedua macam sikap sombong itu dalam sabda beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam : "(Yang disebut) bersikap sombong, ialah menolak kebenaran dan merendahkan manusia". Yang disebut ghamthun-nâs, yaitu merendahkan manusia, meremehkannya, tidak memandang manusia sedikitpun, dia melihat dirinya di atas mereka. Adapun batharul-haq, yaitu tidak menerima kebenaran dan menolaknya, serta berpaling darinya. Bahkan menolaknya, dikarenakan percaya terhadap diri dan pendapatnya sendiri. Sehingga menganggap dirinya lebih besar dari al-haq. Tanda-tanda bersikap sombong ini, yaitu seseorang yang didatangkan kepadanya dalil-dalil dari al-Kitab dan as-Sunnah, dan dikatakan kepadanya: "Ini Kitab Allah, ini Sunnah Rasulullah," namun ia tidak mau menerimanya, bahkan terus memegangi pendapatnya. Maka sikap seperti ini merupakan penolakan terhadap kebenaran. Kita memohon perlindungan kepada Allah Azza wa Jalla dari sikap tercela ini.

Hubungan Antara Aqidah Dan Syari'at
Secara bahasa, 'aqidah berasal dari kata al ‘aqdu. Artinya: mengikat, memutuskan, menguatkan, mengokohkan, keyakinan, dan kepastian. Adapun secara istilah, 'aqidah memiliki makna umum dan khusus. Makna 'aqidah secara umum adalah, keyakinan kuat yang tidak ada keraguan bagi orang yang meyakininya, baik keyakinan itu haq ataupun batil. Sedangkan 'aqidah dengan makna khusus adalah, 'aqidah Islam, yaitu: pokok-pokok agama dan hukum-hukum yang pasti, yang berupa keimanan kepada Allah, malaikat-malaikat-Nya, kitab-kitab-Nya, para nabi-Nya, hari akhir, serta beriman kepada takdir yang baik dan yang buruk, serta perkara lainnya yang diberitakan oleh Allah di dalam al Qur`an dan oleh Rasul-Nya di dalam hadits-hadits yang shahih. Termasuk 'aqidah Islam, yaitu kewajiban-kewajiban agama dan hukum-hukumnya yang pasti. Semuanya itu wajib diyakini dengan tanpa keraguan. Secara bahasa, syari'at berasal dari kata asy-syar'u. Yang memiliki arti: membuat jalan, penjelasan, tempat yang didatangi, dan jalan. Adapun secara istilah, syari'at memiliki makna umum dan khusus. Makna syari'at secara umum ialah, agama yang telah dibuat oleh Allah, mencakup 'aqidah (keyakinan) dan hukum-hukumnya.

Kaidah Memahami Al-Kitab Dan As-Sunnah

Umat Islam memiliki modal yang sangat besar untuk bersatu, karena mereka beribadah kepada ilaah (Tuhan) yang satu, mengikuti nabi yang satu, berpedoman kepada kitab suci yang satu, berkiblat kepada kiblat yang satu. Selain itu, ada jaminan dari Allah dan RasulNya, bahwa mereka tidak akan sesat selama mengikuti petunjuk Allah Azza wa Jalla, berpegang-teguh kepada al Qur’an dan al Hadits. Allah Azza wa Jalla berfirman. "Maka jika datang kepadamu petunjuk dariKu, lalu barangsiapa yang mengikuti petunjukKu, ia tidak akan sesat dan ia tidak akan celaka. Dan barangsiapa yang berpaling dari peringatanKu, maka sesungguhnya baginya penghidupan yang sempit, dan Kami akan menghimpunkannya pada hari Kiamat dalam keadaan buta". Dalam menjelaskan kedua ayat ini, Abdullah bin Abbas berkata: “Allah menjamin kepada siapa saja yang membaca al Qur`an dan mengikuti apa-apa yang ada di dalamnya, bahwa dia tidak akan sesat di dunia dan tidak akan celaka di akhirat”. Nabi Muhammad Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:"Aku telah tinggalkan pada kamu dua perkara. Kamu tidak akan sesat selama berpegang kepada keduanya, (yaitu) Kitab Allah dan Sunnah RasulNya".

Sumber: http://www.almanhaj.or.id

Baca Yang Ini Juga Ya...



0 komentar:

Posting Komentar

Adab Berkomentar:
Diriwayatkan dari Abu Hurairah Radhiyallahu‘anhu, bahwa Rasulullah Shallallahu‘alaihi wa sallam bersabda, yang artinya:
“Sesungguhnya Allah meridhai kalian pada tiga perkara dan membenci kalian pada tiga perkara pula.
Allah meridhai kalian bila kalian:
(1) Hanya beribadah kepada Allah semata, (2) Dan tidak mempersekutukan-Nya, (3) Serta berpegang teguh pada tali (agama) Allah seluruhnya, dan janganlah kalian berpecah belah
Dan Allah membenci kalian bila kalian:
(1) Suka qiila wa qaala (berkata tanpa dasar), (2) Banyak bertanya (yang tidak berfaedah), (3) Menyia-nyiakan harta”
(HR. Muslim no. 1715)

  © Blogger template 'TotuliPink' by Ourblogtemplates.com 2008

Back to TOP  

;