.


Senin, 25 April 2011

Hukum Memakai Make-Up bagi Wanita


Pertanyaan:
Apakah seorang wanita diperbolehkan untuk menggunakan make-up buatan untuk kepentingan suaminya, dan apakah ia boleh menampakkan diri dengan bermake-up di hadapan keluarga atau di depan muslimah lainnya?

Asy-Syaikh Muhammad bin Shalih al-Utsaimin rahimahullah menjawab:

Berhiasnya seorang istri untuk sang suami dalam batas-batas yang diperbolehkan merupakan salah satu hal yang patut dilakukan. Karena tatkala seorang wanita berhias untuk suaminya, maka tindakan ini akan lebih membuat sang suami cinta kepadanya, dan membuat hubungan di antara mereka berdua lebih serasi. Ini sesuatu yang dikehendaki di dalam syariat. Sehingga kalau make-up tersebut dapat membuat sang istri tampak lebih cantik dan tidak membahayakannya, maka ia tidak apa-apa untuk digunakan.

Namun saya pernah mendengar bahwa make-up dapat membahayakan kulit wajah. Ia dapat menyebabkan kulit wajah berubah menjadi buruk sebelum mencapai masa penuaan. Saya berharap para wanita bertanya kepada para pakar kesehatan mengenai hal ini. Kalau terbukti bahwa make-up itu benar-benar membahayakan, maka penggunakannya bisa dihukumi haram atau paling tidak makruh. Karena segala sesuatu yang dapat menyebabkan rupa seseorang menjadi buruk, maka ia bisa jadi haram atau makruh.

Dan pada kesempatan ini, saya hendak mengingatkan perihal apa yang dinamakan al-manaakiir (kutek/cutek). Yaitu sesuatu yang dioleskan oleh perempuan sebagai kulit penutup kuku. Ini tidak boleh dipakai oleh perempuan kalau ia shalat. Sebab manaakiir tersebut menghalangi sampainya air wudhu pada saat bersuci. Dan semua yang dapat menghalangi sampainya air wudhu, tidak boleh digunakan oleh orang yang berwudhu atau mandi besar. Sebab Allah Subhanahu wa Ta’ala telah berfirman:

“Maka basuhlah mukamu dan tanganmu.” (Al-Maidah: 6)

Sedangkan kalau di atas kuku seorang perempuan terdapat manaakiir, maka air wudhu menjadi terhalang olehnya. Sehingga perempuan tersebut tidak dapat dikatakan telah membasuh tangannya. Itu berarti ia telah meninggalkan salah satu kewajiban wudhu atau atau mandi besar. Adapun perempuan yang tidak hendak shalat, maka menggunakan manaakiir itu tidak apa-apa baginya, kecuali kalau perbuatan ini termasuk di antara kekhususan perempuan-perempuan kafir. Kalau demikian, maka ia tidak diperbolehkan karena mengandung tasyabbuh (penyerupaan) dengan perempuan-perempuan kafir tersebut.

Dan saya pernah mendengar sebagian orang memberikan fatwa bahwa perbuatan menggunakan manaakiir ini tergolong seperti mengenakan khuff. Seorang wanita diperbolehkan untuk menggunakannya selama sehari semalam kalau ia sedang mukim, dan selama tiga hari kalau ia sedang bepergian. Akan tetapi fatwa ini adalah keliru. Tidak semua yang dapat menutupi tubuh manusia dikiaskan dengan khuff. Disyariatkannya mengusap kedua khuff disebabkan oleh adanya kebutuhan untuk itu di sebagian besar waktu. Kaki perlu dihangatkan dan ditutup karena ia bersentuhan dengan tanah, kerikil, hawa dingin dan seterusnya. Maka syariat mengkhususkan penguasapan dua khuff ini.

Mereka juga mengkiaskan penggunaan manaakiir ini dengan ‘imamah (selendang kepala), dan ini tidak benar. Karena tempat ‘imamah adalah di kepala, dan yang wajib dikerjakan pada kepala itu diberikan keringanan dari asalnya. Kepala hanya wajib diusap, berbeda halnya dengan wajah. Wajah harus dibasuh.

Oleh karena itu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam tidak memperbolehkan seorang wanita untuk mengusap kedua sarung tangannya, sekalipun sarung tangan ini menutupi tangan. Dan di dalam Shahih Bukhari dan Shahih Muslim, dari hadits al-Mughirah bin Syu’bah, bahwasanya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam berwudhu seraya mengenakan jubah yang kedua lengannya sempit sehingga beliau tidak dapat mengeluarkan kedua tangannya. Lalu beliau mengeluarkan tangan dari bawah badan kemudian membasuh keduanya.

Ini menunjukkan bahwa seseorang tidak dapat mengkiaskan sesuatu yang menghalangi air wudhu, dengan ‘imamah atau khuff. Dan ia wajib mengerahkan segenap kemampuannya untuk mengetahui kebenaran. Tidak memberanikan diri untuk berfatwa melainkan dengan kesadaran bahwa Allah Subhanahu wa Ta’ala akan bertanya kepadanya perihal apa yang dia fatwakan. Sebab fatwa itu memberikan pernyataan tentang syariat Allah Subhanahu wa Ta’ala. Hanya Allah-lah yang memberikan taufik dan hidayah kepada jalan yang lurus. (Dinukil dari Fatwa Al-Mar’ah Al-Muslimah)

Baca Yang Ini Juga Ya...



0 komentar:

Posting Komentar

Adab Berkomentar:
Diriwayatkan dari Abu Hurairah Radhiyallahu‘anhu, bahwa Rasulullah Shallallahu‘alaihi wa sallam bersabda, yang artinya:
“Sesungguhnya Allah meridhai kalian pada tiga perkara dan membenci kalian pada tiga perkara pula.
Allah meridhai kalian bila kalian:
(1) Hanya beribadah kepada Allah semata, (2) Dan tidak mempersekutukan-Nya, (3) Serta berpegang teguh pada tali (agama) Allah seluruhnya, dan janganlah kalian berpecah belah
Dan Allah membenci kalian bila kalian:
(1) Suka qiila wa qaala (berkata tanpa dasar), (2) Banyak bertanya (yang tidak berfaedah), (3) Menyia-nyiakan harta”
(HR. Muslim no. 1715)

  © Blogger template 'TotuliPink' by Ourblogtemplates.com 2008

Back to TOP  

;