Oleh: Syaikh Muhammad Ali Farkus hafidzohulloh
Pertanyaan:
Jika para wanita mendirikan sholat jama’ah diantara mereka sendiri, apakah keutamaan shof akhir bagi mereka tetap berlaku? Ataukah shof awal yang lebih utama?
Jawaban:
الحمدُ لله ربِّ العالمين، والصلاة والسلام على من أرسله اللهُ رحمةً للعالمين، وعلى آله وصحبه وإخوانه إلى يوم الدين، أمّا بعد:
Hadits yang menjelaskan tentang shof wanita bahwa yang paling baiknya adalah yang paling belakang dikarenakan banyaknya ganjaran, keutamaan dan jauhnya dari bercampur-baur dengan laki-laki serta sebaliknya tercelanya shof pertama, yang zhohir dalam hadits tersebut adalah tetap berlaku keumumannya (yakni shof terbaik adalah yang paling belakang, pent) jika para wanita sholat berjama’ah bersama para laki-laki, baik dengan adanya pembatas/hijab yang memisahkan antara wanita dan laki-laki ataupun tidak adanya hijab tersebut.
Adapun jika para wanita sholat berjama’ah diantara mereka sendiri terpisah dari laki-laki (tidak berjamaah bersama laki-laki, pent), maka baik-buruknya shof wanita sama hukumnya dan penerapannya dengan shof laki-laki dari sisi banyaknya pahala pada shof yang pertama dan tidak afdolnya shof yang terakhir. Dan yang juga menunjukkan bahwa keutamaan ada di shof pertama adalah pada kondisi ketika seorang wanita mengimami para wanita lainnya, dimana ia berdiri di tengah-tengah mereka pada shof pertama, kemudian dibelakangnya shof-shof berikutnya yang lebih rendah pahala dan keutamaannya. Dan telah tsabit (shohih) dari Aisyah rodhiyallohu anha bahwa beliau mengimami para wanita pada sholat wajib, dan beliau mengimami di tengah-tengah mereka[1]. Demikian pula Ummu Salamah rodhiyallohu anha pada sholat ‘Ashar, beliau berdiri ditengah-tengah shof mereka[2].
An-Nawawi rohimahulloh berkata: “Adapun shof laki-laki, maka ia berlaku sebagaimana keumumannya. Selama-lamanya yang terbaik adalah yang pertama dan yang terburuk adalah yang terakhir. Adapun shof wanita, maka yang dimaksud dalam hadits tersebut adalah shof wanita yang sholat bersama laki-laki, dan jika mereka sholat berjama’ah secara terpisah tidak berjama’ah bersama laki-laki, maka hukum shof mereka seperti laki-laki dimana sebaik-baik shof mereka adalah yang pertama dan yang terburuk adalah yang terakhir. Dan yang dimaksud shof terburuk bagi laki-laki dan wanita adalah yang paling sedikit pahala dan keutamaannya serta yang paling jauh dari tuntutan syari’at, dan kebalikannya adalah shof yang pertama. Dan keutamaan shof terakhir bagi wanita yang sholat bersama laki-laki dikarenakan jauhnya mereka dari bercampur baur dari laki-laki, dan dari melihat mereka, dan ketertarikan hati ketika melihat gerakan mereka dan mendengar perkataan mereka dan yang selainnya dan keburukan shof yang pertama bagi wanita adalah karena sebaliknya.” [3]
Aku katakan: dan makna alasan an-Nawawi bahwa keburukan shof wanita dikarenakan dekatnya mereka dengan laki-laki dari segi ikhtilath (campur baur, pent) dan fitnah, akan tetapi alasan ini – jika memang ini merupakan pendapat beliau- bertentangan dengan sikap Rosululloh shollallohu alaiki wa sallam yang tidak melakukan saddu adz-dzari’ah (menutup pintu wasilah kepada keburukan, pent) terhadap adanya ikhtilath dan fitnah di masjid dengan tidak meletakkan hijab yang benar-benar memisahkan shof laki-laki dan wanita dengan alasan ikhtilath dan fitnah. Dan Nabi shollallohu alaihi wa aailihi wa sallam telah menunaikan amanah dakwah dengan sebaik-baik penyampaian dan menegakkan kewajiban menasihati ummat dengan sempurna, dan beliaupun tidak meninggalkan satu perkarapun dari perkara agama ini –baik yang besar ataupun yang kecil- melainkan beliau telah sampaikan kepada ummatnya. Alloh ta’ala berfirman:
يَا أَيُّهَا الرَّسُولُ بَلِّغْ مَا أُنزِلَ إِلَيْكَ مِن رَّبِّكَ وَإِن لَّمْ تَفْعَلْ فَمَا بَلَّغْتَ رِسَالَتَهُ
“Wahai Rosul, sampaikanlah apa yang diturunkan kepadamu dari Robb-mu. Dan jika tidak kamu kerjakan (apa yang diperintahkan itu, berarti) kamu tidak menyampaikan amanat-Nya.” [QS al-Ma`idah 67]
Oleh karena itu, masalah ini tidak keluar dari dua masalah:
- Bisa jadi Rosululloh shollallohu alaihi wa sallam melihat adanya maslahat yang lebih besar dengan tidak dipasangnya hijab yang memisahkan jama’ah sholat laki-laki dan wanita dengan adanya mafsadah berupa ikhtilath dan fitnah.
- Atau hukumnya bersifat ta’abbudi (murni peribadatan) untuk suatu hikmah yang diketahui Alloh ta’ala, dan tidak diketahui oleh akal kita yang terbatas.
Dan yang lebih selamat dalam masalah ini adalah mengamalkan nash yang ada tentang keutamaan shof laki-laki dan seburuk-buruk shof wanita jika mereka sholat berjama’ah bersama laki-laki secara mutlak, baik dengan ada hijab pemisah ataupun tidak ada hijab pemisah. Berbeda jika para wanita sholat berjama’ah secara terpisah (tidak berjama’ah dengan laki-laki), maka hukum shof mereka sama dengan shof laki-laki. والعلمُ عند الله تعالى، وآخر دعوانا أنِ الحمد لله ربِّ العالمين، وصلى الله على نبيّنا محمّد وعلى آله وصحبه وإخوانه إلى يوم الدين، وسلّم تسليمًا.
Al-Jjazair, 18 Sya’ban 1426 H
Bertepatan dengan: 2 Oktober 2005 M
___________________
Catatan kaki:
[1]- Diriwayatkan oleh al-Hakim dalam al-Mustadrok (731), al-Baihaqi dalam as-Sunan al-Kubro (5393), Ibnu Abi Syaibah dalam al-Mushonnaf (4945), dan Abdurrozzaq dalam al-Mushonnaf (5083).
[2]- Diriwayatkan Muslim dalam al-Hajj bab Hajjatun Nabi shollallohu alaihi wa alihi sallam (2950), Abu Dawud dalam al-Manasik bab Sifatu Hajjatin NAbi (1905), an-Nasa’i dalam ath-Thoharoh bab ma taf’al an-nufasa’ indal ihrom (291), Ibnu Majah dalam al-Manasik bab Hajjatu Rosulillah (3074), dan ad-Darimi dalam Sunan-nya (1854) dari hadits Jabir bin Abdillah rodhiyallohu anhuma.
[3]- Syarah Muslim oleh an-Nawawi (4/159-160).
***
Diterjemahkan dari Web resmi Syaikh Abu Abdil Mu’iz Muhammad bin Ali Farkus Hafidzohulloh, http://www.ferkous.net/rep/Bd103.php dengan diedit berupa penebalan & garis bawah pada tempat-tempat yg kami anggap perlu.
0 komentar:
Posting Komentar